MANAJEMEN
KEPENJULAN
BAB
KASUS KASUS
KEPENJUALAN
Pengertian Penjualan
Penjualan
adalah pendapatan lazim dalam perusahaan dan merupakan jumlah kotor yang
dibebankan kepada pelanggan atas barang dan jasa.
· Penjualan Kredit
Adalah penjualan dengan tenggang waktu rata-rata diatas satu bulan.
· Penjualan Tender
Adalah penjualan ynag dilaksanakan melalui prosedur tender untuk memegangkan tender selain harus memenuhi berbagai prosedur.
· Penjualan Ekspor
Adalah penjualan yang dilaksanakan dengan pihak pembeli luar negeri yang mengimpor barang tersebut.
· Penjualan Konsinyasi
Adalah penjualan yang dilakukan secara titipan kepada pembeli yang juga sebagai penjual.
· Penjualan Grosir
Adalah penjualan yang tidak langsung kepada pembeli, tetapi melalui pedagang grosir atau eceran.
Dari uraian diatas penjualan
memiliki bermacam-macam transaksi penjualan yang terdiri dari: penjualan tunai,
penjualan kredit, penjualan tender, penjualan konsinyasi, penjualan ekspor,
serta penjualan grosir.
Bagian-Bagian
Penjualan
Menurut Krismiaji dalam bukunya “Sistem
Informasi Akntansi” menyatakan bahwa bagian-bagian penjualan dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu:
·
Bagian Penjualan
·
Bagian Kredit
·
Bagian Gudang
·
Bagian Pengiriman
·
Bagian
Penagihan”
Menurut pengertian diatas dapat
diuraikan sebagai berikut:
1.
Bagian Penjualan
Adalah
bagian penjualan menerima surat pesanan dari
pihak pembeli dan membuat surat order penjualan
atas dasar surat
pesanan tersebut.
2.
Bagian Kredit
Adalah
atas dasar surat pesanan dari pembeli yang
diterima dibagian penjualan, bagian ini memeriksa data kredit pelanggan yang
selanjutnya memberikan persetujuan terhadap surat pesanan tersebut dan memeriksannya ke
bagian gudang.
3.
Bagian Gudang
Adalah
bagian gudang yang bertugas untuk menyimpan persediaan baran dagangan serta
mempersiapkan barang dagangan yang akan dikirim kepada pembeli.
4.
Bagian Pengiriman
Adalah bagian
ini mengeluarkan surat order penjualan dan kemudian membuat nota
pengiriman atas
barang yang dipesan. mendapat laba yang maksimal dengan modal sekecil-
kecilnya, dan
menunjang pertumbuhan suatu perusahaan.
Kode
Etik Melakukan Penjualan
Kode Etik PT
Healthy Royal Marketing (HR Marketing) merupakan panduan yang dibuat oleh
Perusahaan untuk memastikan Distributor memahami konsep, misi dan visi
Perusahaan. Dan juga merupakan acuan
untuk memudahkan Distributor menjalankan bisnis atau transaksi dengan mengikuti
etika serta peraturan yang telah ditetapkan oleh Peraturan Penjualan Langsung
(SIUPL) 2008. Selain melindungi kepentingan
kedua belah pihak, Kode Etik juga bertindak sebagai jaminan terhadap hak dan
kewajiban serta tanggung jawab kedua belah pihak. Kegagalan untuk mematuhi
pasal-pasal dalam Kode Etik Healty Royal Marketing akan mengakibatkan kehilangan
hak keanggotaan, hak sebagai Distributor untuk memperoleh keuntungan-keuntungan
dan insentif yang disediakan dalam Program Pemasaran Haelty Royal Marketing dan
atau hal-hal yang beralasan yang dilakukan oleh perusahaan :
1. KEANGGOTAAN
2. SPONSORSHIP
3. HAK KEANGGOTAAN
4. KEBIJAKAN PENJUALAN DAN WAKTU TRANSAKSI
5. KEBIJAKAN PEMBELIAN KEMBALI
6. PEMESANAN PRODUK DAN PEMBAYARAN
7. PEMBAYARAN BONUS, INSENTIF, DAN PROMOSI
8. KANTOR OPERASIONAL, SUPER STOKIS DAN STOKIS
CENTER
9. HAK ANGGOTA
10. HAK-HAK PERUSAHAAN
Cara – cara penjualan
yang sesuai adalah dengan penjulan yang dilakukan secara tertib dengan
aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah yang telah di lindungi oleh Hukum di
suatu negara tersebut.
Upaya-Upaya Pemberantasan
Perdagangan Ilegal Oleh Pemerintah
Menko Polhukham dalam acara dengar pendapat dengan
Komisi I DPRRI mengatakan masalah Illegal Logging, Illegal Fishing dan Illegal
Mining pada dasarnya, pengelolaan sumber daya alam nasional, diorientasikan
sebesar-besarnya bagi kepentingan kesejahteraan rakyat. Sumber daya hutan,
sumber daya perikanan dan sumber daya pertambangan, merupakan sumber daya alam
nasional potensial yang memberikan prospek perekonomian bagi upaya perwujudan
kesejahteraan rakyat, apabila dikelola dengan baik. Oleh karenanya, pengelolaan
sumber daya alam, utamanya hutan, perikanan dan pertambangan, harus dilakukan
dengan menjamin : Dinamisasi perekonomian dalam menunjang pertumbuhan,
kelestarian lingkungan dan ekosistem, penegakan hokum bagi setiap bentuk
penyimpangan/ pelanggaran terhadap hukum dan aturan yang berlaku.
Disadari
bahwa dengan luasnya wilayah daratan dan perairan, serta besarnya kandungan
sumber daya alam nasional ( hutan, perikanan dan pertambangan ) , diperlukan
upaya kordinasi lintas sektoral, agar pengelolaan sumber daya alam dapat tetap
berada pada orientasi kepentingan tersebut.
1. Masalah Illegal Logging.
Inpres Nomor
: 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan
dan Peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, merupakan landasan
koordinasi penanggulangan Illegal Logging, dengan fokus upaya :Percepatan
pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di kawasan Hutan, melalui
penindakan terhadap orang atau badan yang melakukan kegiatan :
menebang/memanen/memungut hasil hutan kayu dari kawasan hutan tanpa hak/ijin
dari pejabat yang berwenang, menerima/memberi/menjual/menyimpan hasil hutan
kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil secara tidak sah, mengangkut/menguasai/memiliki
hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan kayu
tersebut, membawa alat-alat berat/ alat-alat lainnya yang lazim/patut diduga
digunkan untuk mengangkut hasil hutan kayu di dalam kawasan hutan tanpa ijin
pejabat yang berwenang, Menindak tegas dan memberikan sansi terhadap oknum
petugas yang terllibat, Melakukan koordinasi dan kerja sama, Memanfaatkan
informasi masyarakat, Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang
bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara illegal, untuk
penyelamatan nilai ekonomisnya.
Departemen
Kehutanan sebagai departemen teknis sektoral dalam pengelolaan sumber daya
kehutanan, melakukan upaya-upaya :Penataan berbagai peraturan
perundang-undangan dan aturan pelaksanaannya, Revitalisasi sektor kehutanan,
khususnya industri kehutanan, Pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar
hutan,Penataan dan pemantapan kawasan hutan.
Kerja sama
Internasional yang dilakukan : MoU dengan RRC,Uk dan USA, Lol dengan Norwegia,
Joint Statement/join Announcement dengan Korea dan Jepang, Proses Negosiasi
dengan Uni Eropa, yaitu European Union Forest Law Enforcement, Government and
Trade (FLEGT) Voluntary Patnership Agreement (VPA) antara RI dan EC.
Kendala-kendala
dalam upaya penanggulangan : Rasio luas wilayah yang harus diawasi dengan
kemampuan pengawasan. ( Keterbatasan SDM, Keterbatasan sarana dan prasarana
pendukung), Masih adanya pemanfaatan masyarakat di sekitar hutan untuk
melakukan penebangan hutan secara illegal oleh pemilik modal, Belum
terintegrasinya Online Data Base Intergovernmental Agency, sehingga pertukaran
informasi di bidang tindak pidana kehutanan masih lemah, Kecenderungan tidak
konsistennya masyarakat dunia, berkaitan dengan kepentingan perdagangan kayu dunia
dan isu pelestarian hutan.
Perkiraan
kerugian perekonomian Negara : Luas hutan tropis Indonesia kurang lebih 120, 35
juta hektar, yang dilingkupi oleh ribuan titik rawan yang memungkinkan untuk
penyelundupan hasil hutan, dihadapkan dengan keterbatasan kemampuan pengawasan/
pengamanan yang ada, kerawanan tersebut merupakan potensi kerugian perekonomian
negara yang cukup besar, Departemen Keuangan mencatat, dari upaya pemberantasan
illegal logging, dapat diselamatkan keuangan negara melalui pelelangan, sebagai
berikut : Tahun 2006 kurang lebih Rp 209.706.652.237 ( Dua Ratus Sembilan
Milyar Tujuh Ratus Enam Juta Enam Ratus Lima Puluh Dua Ribu Tiga Ratus Dua
Puluh Tujuh Rupiah), Tahun 2007 kurang lebih Rp 83.428.356.593 ( Delapan Puluh
Tiga Milyar Empat Ratus Dua Puluh Delepan Juta Tiga Ratus Lima Puluh Enam Ribu
Lima Ratus Sembilan Puluh Tiga Rupiah).
Catatan
kasus-kasus Illegal Logging 2 ( dua ) Tahun terakhir dan beberapa kasus besar :
Tahun 2006 Bareskrim Polri mencatat Jumlah tindak pidana illegal logging yang
ditangani 3.711 kasus, dengan tersangka 5.217 orang dan diselesaikan 2.407
kasus dengan barang bukti : Kayu Olahan = 494.810.53 M3, Kayu log/Bulat =
690.637 batang, Tugboat = 8 Unit, Tongkang = 7 Unit, Ponton = 2 Unit, Klotok =
111 Unit, Kapal = 451 Unit, Truk/mobil = 1.255 Unit, Alat Berat = 187 Unit,
Alat ringan = 314 Unit, Sepeda motor = 39 Unit, Buldoser = 2 Unit, Chainsaw =
41 Unit.
Tahun 2007
Bareskrim Mabes Polri mencatat jumlah tindak pidana illegal logging yang
ditangani 1.749 kasus, dengan jumlah tersangka 1.717 orang dan diselesaikan
1.260 kasus dengan barang bukti sebagai berikut : Kayu = 503.471 M3 +
405.828 Batang, Ponton/Tb/Tk = 17 Unit, Klotok = 69 Unit, Kapal = 59
Unit, Truk = 1.232 Unit, Kontainer = 272 Unit, Alat Berat = 205 Unit, Alat
Ringan = 832 Unit, Sepeda Motor = 68 Unit.
Lebih lanjut
dikatakan mengenai Kasus Illegal Logging di Provinsi Riau, operasi yang
dilakukan aparat Polri dalam pemberantasan illegal logging di Provinsi Riau
merupakan implementasi Inpres Nomor 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan peredarannya di seluruh
wilayah Republik Indonesia. Dari operasi ini, telah dilakukan proses
penyidikan, antara lain 14 perusahaan HTI, serta penyitaan sejumlah besar kayu,
sejumlah alat angkut dan alat berat. Di dalam perkembangannya, timbul dampak
yang berkaitan dengan dengan aspek penegakan hukum dan aspek sosial ekonomi.
Pada aspek penegakan hukum, terdapat perbedaan perpsepsi antara jajaran
Departemen Kehutanan dan Jajaran Polda Riau, tentang Pemberian Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Industri. Pada aspek sosial-ekonomi, timbul
keluhan dunia usaha, berkait dengan penurunan produksi karena berhentinya
pasokan bahan baku, yang kemudian disimpulkan mengakibatkan penurunan nilai
ekspor, pengangguran dan hambatan instansi. Masalah tersebut mengemukakan di
berbagai media massa baik cetak dan elektronik yang lebih mengeksploitasi
perbedaan persepsi tersebut, sebagai pertentangan yang tajam antar institusi.
Untuk penyelesaian masalah ini, telah dibentuk Tim Penyelesaian Masalah Illegal
Logging di Provinsi Riau (TPM) yang terdiri dari Tim Pengarah ( Ketua Menko
Polhukam, Wakil Ketua Menko Perekonomian ) dan Tim Pelaksana ( Ketua Deputi V /
Kemenko Polhukam, Wakil Ketua Deputi III / Kemenko Perekonomian ).
Kebijakan
penyelesaian dengan percepatan proses hukum, baik aspek pidana/maupun
aspek perdata dan administrasi ( terkait dengan pelanggaran lingkungan ),
perusahaan dapat melanjutkan kegiatan usaha, sesuai aturan yang berlaku,
direkomendasi oleh Dephut berdasarkan RKT dan diketahui Polri. Kayu yang di
police line dapat dimanfaatkan dengan memberikan jaminan serta ijin pengadilan
setempat. Sebagian kayu sitaan disisihkan untuk dijadikan contoh barang bukti.
Alat berat yang di police line dapat dimanfaatkan untuk kegiatan operasional
perusahaan melalui cara pinjam pakai, dengan mengajukan permohonan dilampiri
dokumen ( atau kesediaan memenuhi kewajiban pengurusan dokumen yang diketahui
pengurusan dokumen yang diketahui pejabat Bea Cukai setempat bagi alat berat
yang tidak / belum ada dokumennya).
Perkembangan
saat ini, secara umum pelaksanaan kesepakatan penyelesaian masalah illegal
logging di Provinsi Riau telah ditindaklanjuti di tingkat Provinsi.
Penyelesaian proses hukum dilakukan dengan percepatan kelengkapan berkas
perkara sejalan dengan hasil koordinasi Kapolda dengan Kajati Riau. Percepatan
penerbitan RKT telah didukung dengan penerbitan PP Nomor 3 Tahun 2008 tanggal 4
Februari 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan. Tim telah melakukan pertemuan antara Kaplda dan para
Kapolres, Pejabat Pemda Provinsi dan seluruh Kepala Dinas Kehutanan se Provinsi
Riau guna kelancaran penerbitan RKT. Penyelesaian barang bukti kayu yang di
police line, telah dimulai dengan pelaksanaan penaksiran (taksasi) besaran
nilai untuk penentuan jumlah uang jaminan dari para pemilik kayu sitaan. Alat
Berat yang disita sebanyak 178 Unit, telah direalisasikan pinjam pakai kepada
pemilik sebanyak 24 unit.
Kasus
Illegal Logging di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sintang Provinsi Kalbar ( dikenal
sebagai Kasus Tenda Biru). Ditemukan kayu berupa rakit pada Januari 2008
sebanyak 19 rakit atau sebanyak 22.124 batang (10 rakit berada di Kab. Kapuas
Hulu dan 9 rakit berada di Kabupaten Sintang) Provinsi Kalimantan Barat dengan
diikuti oleh 285 orang penduduk –masyarakat setempat. Wakil Bupati Kapuas Hulu
dan Gubernur Provinsi kalbar melaporkan ke Menko Polhukam dan Menhut. Pada
tanggal 6 Maret 2008 diselenggarakan rapat koordinasi untuk penyelesaian
masalah dengan memperhatikan aspek: penegakan hukum, politik, dan aspek
kemanusiaan serta pembangunan masyarakat di wilayah perbatasan. Kayu temuan
tersebut sebagian dalam proses lelang pada tanggal 18 Maret 2008 dan sebagiannya
dalam proses pengukuran. Terhadap masyarakat yang menyertai rakit kayu tersebut
telah difasilitasi oleh Pemda Kabupaten Kapuas Hulu dan Pemda Provinsi Kalbar
untuk dikembalikan ke desanya masing-masing.
2. Masalah Illegal Fishing.
Perairan Indonesia
yang merupakan 2/3 bagian wilayah Indonesia sebagai Negara Kepulauan, mencakup
perairan kedaulatan dan yurisdiksi nasional, seluas kurang lebih 6 juta
kilometer persegi. Upaya pengawasan dan pengamanan terhadap kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi sumber daya laut termasuk sumber daya perikanan di wilayah
perairan nasional, merupakan bagian penting dari upaya dukungan terhadap
pembangunan ekonomi nasional dan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Berkaitan dengan pengawasan dan pengamanan tersebut, fokus upaya harus mencakup
: pemberantasan penangkapan ikan secara tidak sah ( Tanpa Ijin, Penyalahgunaan
ijin meliputi daluwarsa, fishing ground,alat tangkap), pengangkutan hasil
tangkapan ( Entry Point dan Exit point, Transhipment), bentuk-bentuk pelanggaran
terkait lainnya ( Undang-undang Pelayaran, Ketenagakerjaan, Penyalahgunaan BBM
bersubsidi).
Terkait
dengan berbagai insitusi yang berdasarkan Undang-undang memiliki kewenangan
dalam tugas-tugas pengawasan, pengamanan dan penegakan hukum di laut, diperlukan
koordinasi dan kerjasama untuk membangun sinergi, bagi kepentingan efektifitas
upaya pemberantasan kegiatan illegal di Laut. Institusi terkait, seperti
Departemen Kelautan dan Perikanan, TNI AL. Polri, KPLP/Dephub, Ditjen
BC/Depkeu, melaksanakan kegiatan operasional di laut, sesuia dengan tugas pokok
masing-masing, baik dalam bentuk operasi mandiri maupun operasi terkoordinasi
dengan unsur/ instansi lainnya dalam wadah Bakorkamla. Departemen Kelautan dan
Perikanan, sebagai departemen teknis sektoral yang mengelola masalah-masalah
kelautan dan perikanan, dalam kebijakan penanggulangan illegal fishing,
melakukan langkah-langkah : penempatan 4 (empat) stategi pendekatan meliputi
pre-emptif,responsif, persuasif, koordinasi, melakukan percepatan pemberantasan
illegal fishing, melalui : Pembentukan pengadilan khusus perikanan di 5 daerah
yaitu, Jakarta, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual, Pembentukan satgas
percepatan penanganan pelanggaran,termasuk proses penyidikan tindak pidana
perikanan, Pelaksanaan Program Radip Repatriation bagi ABK kapal asing,
Penyusulan pemberian insentif bagi aparat pengak hukum yang berjasa dalam
penyelamatan kekayaan negara di sektor perikanan, melaksanakan operasi
surveillance. Kerjasama Internasional dilakukan dalam aspek pengawasan dan
aspek patroli terkoordinasi.
Lebih lanjut
kendala-kendala dalam penanggulangan yaitu Rasio luas wilayah perairan yang
harus diawasi dengan kemampuan pengawasan ( keterbatasan SDM, keterbatasan
sarana/prasarana, keterbatasan dukungan anggaran), ketentuan hukum yang menjadi
dasar Operasional pengawasan belum seluruhnya tersedia ( aturan-aturan
pelaksanaan dari Undang-unang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan ), belum
optimalnya operasionalisasi pengadilan perikanan, masih rendahnya kesadaran sebagian
masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan
perikanan. Perkiraan kerugian perekonomian negara yaitu : luasnya wilayah
perairan kedaulatan dan yurisdiksi nasional, yang terbuka akses dari segala
penjuru, merupakan kerawanan yang memungkinkan terjadinya kegiatan illegal,
yang berpotensi menimbulkan kerugian perekonomian negara yang cukup besar.
Departement Kelautan dan Perikanan mencatat dari upaya pemberantasan illegal
fishing, dapat diselamatkan potensi kerugian negara, sebagai berikut : Tahun
2006, dapat diselamatkan kerugian negara Rp 315.374.400.000 ( Tiga Ratus Lima
Belas Milyar Tiga Ratus Tujuh Puluh Empat Juta Empat Rarus Ribu Ruoiah), dari
hasil lelang kapal, Pajak Hasil Perikanan (PHP), Subsidi BBM, dan Sumber Daya Perikanan.
Tahun 2007, dapat diselamatkan kerugian negara sekitar Rp 439.612.800.000 (
Empat Ratus Tiga Puluh Sembilan Milyar Enam Ratus Dua Belas Juta Delapan Ratus
Ribu Rupiah), dari hasil leleng kapal, Pajak Hasil Perikanan (PHP), Subsidi
BBM, dan Sumber Daya Perikanan.
Dalam pada
itu terdapat catatan Kasus-kasus Illegal Fishing 2 (dua) tahun terakhir dan
beberapa kasus besar antara lain : Tahun 2006 Jumlah tindak pidana illegal
fishing yang diungkap 429 kasus, diselesaikan 268 kasus. Tahun 2007 jumlah
tindak pidana illegal fishing yang berhasil diungkap sebanyak 376, diselesaikan
376. Kasus M.V.Golden Blessings ( Bendera Philiphina), Putusan Pengadila Negeri
Jayapura 28 Februari 2007 denda Rp 500 Juta, Subsider 6 bulan penjara, barang
bukti dikembalikan kepada pemilik ( JPU banding), Putusan Pengadilan Tinggi
Jayapura Nomor 24/Pid.B/2007/PT.JPR 5 Oktober 2007, pidana denda Rp 500 Juta,
Subsider 6 bulan kurungan, Barang bukti Kapal beserta kelengkapan dan uang
hasil lelang ikan tuna 200 ton seharga Rp 210 Juta dirampas untuk negara (
terrdakwa kasasi). Kasus M.V. Cheng long ( Bendera Panama), Putusan PN Surabaya
Nomor 2180/Pid.B/PN.SBY tanggal 31 Oktober 2007, Pidana Perikanan dan
Pelayaran, denda Rp 500 Juta, Subsider 4 bulan kurungan, BB kapal dan kelengkapan
serta BB lelang Ikan 459 ton seharga 2.181.160.000 dirampas untuk negara (
terdakwa banding ). Kasus M.V.Piong Piong Hai-05099 ( Bendera China), Putusan
PN Manokwari Nomor 48/Pid.B/2007/PN Mkw 23 November 2007 Pidana Perikanan
terdakwa 1 dan terdakwa 2 pidana penjara masing-masing 1 tahun dan denda Rp 200
Juta, menetapkan para terdakwa tetap ditahan, BB 1 set jaring dan 3 ekor ikan
hiu yang sudah mati dirampas negara untuk dimusnahkan (JPU banding ), Putusan
PT Jayapura Nomor 69/Pid/2007/PT.PJR 14 Desember 2007 pidana masing-masing 5
tahun dan denda Rp 1 Milyar Subsider 1 Tahun kurungan dan BB kapal beserta
kelengkapan lainnya dirampas untuk negara. Kasus K.M. Thindo Mina 6 ( Bendera
Indonesia ), Putusan PN Tanjung Pinang Nomor 340/Pid.B/2007/PN TPI trp tanggal
19 September 2007 dirampas untuk negara, dan 4 unit ALKAP dimusnahkan (
Inkrach).
3. Masalah Illegal Mining.
Upaya
penanggulangan illegal mining pada hakekatnya mencakup pemberantasan kegiatan
penambangan secara tidak sah serta pelanggaran terhadap aturan tentang angkutan
dan perdagangan (ekspor) barang tambang. Koordinasi upaya penanggulangannya
adalah dengan Keppres Nomor 25 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan
Pertambangan Tanpa Ijin, Penyalahgunaan BBM, serta Perusakan Instalasi
Ketenagalistrikan dan Pencurian Aliran Listrik, menjadi landasan alam
penyusunan kebijakan dan program serta operasionalisasi penanggulangan secara
terkoordinasi. Keppres tersebut di atas berlaku lagi dengan keluarnya Keppres
Nomor 44 Tahun 2004 tentang Pembubaran Tim Koordinasi Penanggulangan
Pertambangan Tanpa Ijin, Penyalahgunaan BBM serta Perusakan Instalasi
Ketenagalistrikan dan Pencurian Aliran Listrik. Dengan Keppres tersebut, Tim
Koordinasi Penanggulangan serta Tim Pelaksana Pusat dan daerah dibubarkan.
Pelaksanaan tugas penanggulangan selanjutnya dilakukan secara fungsional oleh
instansi terkait sesuai lingkup tugas dan kewenangannya. Penanggulangan di
fokuskan kepada upaya pemberdayaan aparatur pemerintah di pusat dan di daerah
sesuai lingkup fungsi, tugas dan kewenangannya di sektor masing-masing di dalam
upaya penanggulangan ( sesuai Keppres Nomor 44 Tahun 2004), Penertiban
Penambangan Tanpa Ijin ( PETI) yang umumnya dilakukan oleh masyarakat, namun
dimodali para cukong, Penegakan hukum terhadap para pelaku illegal mining,
Pengawasan / pengamanan terhadap angkutan dan perdagangan (ekspor) barang
tambang, antara lain melalui : Permendag Nomor 02/M-DAG/PER/I/2007 tentang
pelarangan Ekspor Pasir,Tanah dan Top-Soil, Permendag Nomor 04/M-DAG/PER/I/2007
tentang pengaturan terhadap Ekspor Timah Batangan. Lebih lanjut dikatakan
megenai kendala-kendala dalam upaya penanggulangan yaitu belum adanya aturan
yang menjadi landasan untuk pelaksanaan penaggulangan secara terpadu, Faktor
kesulitan dalam pendektesian praktek illegal mining, karena selalu berpindah
lokasi, Pemanfaatan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, untuk melakukan
PETI, oleh para pemilik modal, Tumpang tindih kewenangan pemberian ijin kuasa
pertambangan (KP) oleh Gubernur dan Bupati / Walikota, Keterbatasan SDM serta
sarana dan prasarana pendukung.
Catatan
kasus-kasus Illegal Mining 2 Tahun terakhir ( Data Bareskrim Mabes Polri ),
Tahun 2006, kasus penertiban illegal mining yang menonjol dalam tahun 2006
adalah penertiban penambangan batu bara di Kalimantan Selatan, jumlah tindak
pidana Mining yang ditangani 55 kasus dengan jumlah tersangka 82 orang, diselesaikan
32 kasus, barang bukti biji timah 545,8 ton, pasir timah 471 ton, kaolin 157
ton, emas 37 kg, batubara 951,5 ton, truk 26 buah, mesin-mesin 25 buah. Tahun
2007, jumlah perkara illegal mining yang berhasil diungkap sebanyak 147 kasus
dan yang diselesaikan 121 kasus, barang bukti yang berhasil disita : batubara
378 ton, bijih emas 25 karung, timah 14 ton, pasir timah 110 ton, alat berat 82
unit, perahu klotok 24 unit, truk/mobil 12 buah, mesin-mesin 115 unit.
Akibat dan
ancaman yang ditimbulkan oleh kegiatan illegal terhadap keamanan dan integrasi
NKRI antara lain : Pada aspek Ekonomi, kegiatan illegal ( Logging,
Fishing,Mining) telah menimbulkan potensi kerugian perekonomian negara yang
cukup besar, baik dari nilai sumber daya alamnya maupun dari pajak dan
retribusi serta pendapatan negara lainnya, pada aspek sosial, timbul
kesenjangan antara masyakat kecil yang hidup secara tradisional dalam
memanfaatkan sumber daya alam, dengan pelaku-pelaku kegiatan illegal yang
bermodal besar ) contoh : nelayan tradisional ), Pada aspek politis, kegiatan
illegal yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, menempatkan Indonesia dalam
posisi yang tidak menguntungkan dalam percaturan dunia Internaional, pada aspek
keamanan, kegiatan illegal mining ( eksploitasi pasir ) di pulau-pulau kecil
terluar, dapat mengakibatkan kerusakan konfigurasi pantai sebagai tempat
kedudukan titik dasar yang berpengaruh terhadap garis pangkal dan wilayah
kedaulatan, kegiatan illegal fishing, dapat menjadi sarana kejahatan terhadap
negara ( penyelundupan senjata) maupun kejahatan lintas negara ( narkoba, dll
), dana yang dihasilkan dari kegiatan illegal, dapat digunakan pihak-pihak
tertentu yang mengancam keamanan negara ( teroris,separatis ).
Itulah upaya Negara dan Pemerintah
kita khususnya bangsa Indonesia dalam memerangi / memberantas kasus perdagangan
ilegal yang menyebabkan banyaknya kerugian yang ditimbulkan, mula dari itu
pemerintah dan segenap badan-badan, aparat, dan masyarakat di wajibkan cepat
tanggap terhadap kasus-kasus penjulan ilegal ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar